DIBALIK MUSIBAH H. Syukri Ilyas. MA

 

Musibah adalah suatu keniscayaan yang melanda semua manusia, baik secara
perorangan maupun kelompok. Perasaan takut, lapar, kekurangan harta, jiwa,
sampai kekurangan buah-buahan yang dibutuhkan, selalu menyertai mereka yang
terkena musibah.

”Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit

ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan, dan
berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat
dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS Al-Baqarah (2): 155-157).

Musibah pada hakikatnya mempunyai beberapa dimensi.

Dimensi pertama Bahwa musibah adalah ujian dari Allah SWT. Dan ketika ujian dapat dilalui dengan baik, maka akan menaikkan derajat dan kebaikan si penerima ujian itu.
Sebagaimana anak-anak kita ketika akan naik kelas, dia perlu diuji terlebih
dahulu. Inilah yang diisyaratkan Rasulullah SAW,

”Siapa yang akan diberi limpahan kebaikan dari Allah, maka diberi ujian terlebih dahulu.”     (HR BukhariMuslim).

Dimensi kedua, musibah harus dihadapi dengan kesabaran karena
kesabaran itulah kunci utama untuk lulus dari ujian.

”Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman seluruh perkaranya menjadi baik. Ketika ditimpa musibah dia bersabar, itu membawa kebaikan baginya. Dan ketika mendapatkan
nikmat dia bersyukur dan itu membawa kebaikan baginya.” (Al-Hadis).

Dimensi Ketiga, seberat apa pun musibah, pasti Allah SWT sudah memperhitungkannya
agar tidak melebihi dari kesanggupan masing-masing.

Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèó™ãr 4

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah (2): 286)

Dimensi keempat, dengan musibah yang menimpa seorang Muslim, baik berupa kesusahan
dan penderitaan, kesedihan dan kedukaan, maupun penyakit, bahkan karena
sepotong duri yang mencocok anggota badannya, dihapuskan Allah SWT sebagian
dari kesalahan-kesalahannya.

Jika musibah yang memang sudah terjadi membuat kita sedih dan berduka,
semoga juga akan membawa kebaikan-kebaikan yang banyak dalam ridha Allah SWT
Terbukti, tsunami di Aceh membawa mereka kepada kedamaian dan kebaikan yang
banyak dan kematian mereka lebih berarti sebagai syahid ukhrawi.
Sebagai manusia, kita prihatin dan sedih ketika mendapatkan musibah seperti
yang terjadi kini pada saudara-saudara kita di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Tidak bisa terbayangkan bagaimana seandainya kita berada pada posisi mereka.

Hikmah dari Musibah

Sebagai seorang mukmin maka kita patut bersabar dan mengambil hikmah dan pelajaran yang dalam. Diantaranya hikmah adalah:

Pertama, Allah ingin menjadikan kita sebagi orang yang baik dengan musibah ini. Sebagimana sabda Rasul dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Siapa saja yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka diberikan cobaan kepadanya.” Jika kita bersabar maka kita tergolong orang-orang yang baik di mata Allah.

Kedua, Allah ingin menghapuskan keburukan dan menambah kebaikan-kebaikan hamba pada hari kiamat, sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 155:

Dan Sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar

Ketiga, Allah ingin menjadikan kita orang-orang yang baru. Seorang mukmin yang bersabar atas musibah yang menimpanya dan senantiasa mengharapkan ridha Allah SWT. Dengan demikian musibah itu menjadi nikmat baginya bukan menjadi siksa, karena Allah akan mengganti semua dengan kehidupan yang lebih baik.

Keempat, Allah ingin melihat siapa yang tetap istiqamah. Meskipun musibah menghabiskan seluruh hartanya, ia tidak meninggalkan ibadahnya kepada Allah atau bahkan menjual akidahnya hanya dengan bantuan pertolongan dari agama lain.

Kelima, bencana ini juga menjadikan kita semua bahu-membahu saling tolong menolong. Rasulullah SAW memberikan kabar gembira, bagi orang yang menolong saudaranya Allah akan selalu menjadi penolongnya di saat kesulitan datang.

Bencana alam yang terjadi merupakan takdir Allah dan bukti tanda kekuasaan Allah yang harus kita imani. Meskipun teknologi yang dimiliki oleh manusia canggih tetap saja kita tidak bisa memprediksi kejadian yang sudah digariskan oleh yang Maha Pencipta. Subhanallah sungguh lagi-lagi kejadian tersebut mengingatkan kita betapa besarnya kekuasaan Allah.

Terakhir sebagai penutup, kejadian demi kejadian tersebut tentunya menuntut kepedulian besar bagi kaum muslimin. Dalam kitab Al-Amwaal fi Daulatil Khilafah, bahwa di Baitul Mal Negara terdapat satu biro yang disebut Diwah At-Thawari yang tugasnya mengurus masalah bencana yang menimpa kaum muslimin dalam pemerintahan. Semacam Kementerian Sosial dan Kementerian Kesejahteraan Rakyat di Negara kita. Pembelanjaan atas bencana alam ini dibiayai dari pendapatan Baitul Mal lewat Diwan Al-Fa’i wal kharaj dan pendapatan dari Diwan Malikiyah al’amah. Karena saat ini kita menerapkan sisem ekonomi Dual System Economic maka baik dana Pemerintah (APBN) ataupun Lembaga-lembaga Keuangan Syari’ah harus saling bahu membahu. Jika tidak ada juga, maka sudah selayaknya sebagai wujud kepedulian sesama saudara kita maka kita harus mengeluarkan dari kantong kita baik yang berlebihan ataupun tidak.

Rasulullah SAW memberikan kabar gembira, bagi orang yang menolong saudaranya. Allah akan selalu menjadi penolongnya di saat kesulitan datang. Seberapa besar sebuah permasalahan akan terasa ringan saat dijinjing bersama. Kita bantu orang yang sedang kesulitan sebagaimana kita butuh pertolongan saat kesulitan datang. Kita tanam benih-benih kebaikan, maka Allah pun akan memberikan pertolongan kelak Insya Allah.

Wallahualam

INFAQ DALAAM AL-QUR’AAN H.Syukri Ilyas, M.A ( Penyuluh Agama Islam Fungsional Kemenag Kota Batam )

 

Adapun untuk kajian kali ini akan membahas salah satu ayat yang berkait dengan sedekah atau infak, Allah SWT berfirman,

 

Ketiga istilah tersebut sangat akrab di telinga kita dan seolah sudah menjadi satu kesatuan. Tetapi sesungguhnya masing-masing istilah tersebut punya hakikat dan pengertian masing-masing yang cukup spesifik, sehingga kita perlu menyebutkannya satu-persatu. Karena bukan sinonim, bahkan dari segi hukum, juga amat berbeda.

Infaq bisa dikatakan istilah atas (zakat, infaq dan shadaqah). Asal kata infaq dari bahasa Arab, yang bermakna mengeluarkan atau membelanjakan harta. Berbeda dengan yang sering kita pahami dengan istilah infaq yang selalu dikaitkan dengan sejenis sumbangan atau donasi, istilah infaq dalam bahasa Arab sesungguhnya masih sangat umum. Intinya, hanya mengeluarkan harta atau membelanjakannya. Apakah untuk kebaikan, donasi, atau sesuatu yang bersifat untuk diri sendiri, atau bahkan keinginan dan kebutuhan yang bersifat konsumtif, semua masuk dalam istilah infaq. Infaq sering digunakan oleh al-Qur’ân dan al-Hadits untuk beberapa hal, diantaranya:

Pertama, untuk menunjukkan harta yang wajib dikeluarkan, yaitu zakat. Infaq dalam pengertian ini berarti zakat wajib.

Firman Allah dalam Surat At-Taubah : 60

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[At-Taubah 60.]

Ayat ini turun ketika orang-orang munafik yang bodoh itu mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang pembagian zakat , kemudian Allah menjelaskan bahwa Allah –lah yang mengatur pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selain-Nya, tidak ada campur tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah membaginya hanya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut.

Sodaqoh dimaksud dari ayat ini adalah zakat-zakat yang wajib, berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa ada pengkhususan.[Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalamil Manan oleh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, hal 341 Muasasah Risalah]

Para ulama’ berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat

  1. Harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’i dan sekelompok ulama’.
  2. Tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Mimun bin Mihran. Ibnu Jabir berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.

Kedua, Untuk menunjukkan harta yang wajib dikeluarkan selain zakat, seperti kewajiban seorang suami memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Kata infaq disini berubah menjadi nafkah atau nafaqah. Sebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nisak ; 34

“ Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan sebagian mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka “

Ketiga, untuk menunjukkan harta yang dianjurkan untuk dikeluarkan, tetapi tidak sampai derajat wajib, seperti memberi uang untuk fakir miskin, menyumbang untuk pembangunan masjid atau menolong orang yang terkena musibah. Mengeluarkan harta untuk keperluan-keperluan di atas disebut juga dengan infaq. Biasanya infaq ini berkaitan dengan pemberian yang bersifat materi.

 “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaklah diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.” Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 215)

Dalam Tafsir Imam Ibnu Katsir [2], menurut Muqatil bin Hayyan, ayat ini menerangkan anjuran untuk menafkahkan harta. Menafkahkan harta yang disebutkan dalam ayat ini adalah infak yang bersifat sunnah, bukan wajib. Dijelaskan dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk menafkahkan harta dengan cara yang baik, misalnya memberikannya kepada kedua orang tua, sanak kerabat, anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Inilah maksud ayat: Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaklah diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.” Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk memberikan nahkah kepada kedua orang tua, saudara, dan lain sebagainya. Jadi, menafkahkan harta di sini bersifat sedekah, bukan harta yang wajib dikeluarkan seperti zakat.

Sedangkan maksud ayat:

Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”

bahwasannya Allah SWT mengetahui apa saja kebaikan yang telah dilakukan manusia. Kelak Allah SWT akan memberikan balasan yang lebih besar dari pada yang disedekahkan.

Menurut Imam At-Tabari [3], Ayat ini menjelaskan para sahabat Rasulullah SAW yang bertanya kepada beliau tentang harta apa saja yang dapat diinfakkan dan disedekahkan? Jawabannya adalah katakanlah kepada mereka, harta apapun dapat kamu infakkan dan sedekahkan. Berikanlah kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim di sekitramu, orang miskin dan ibnu sabil. Sesungguhnya kebaikan yang kamu berikan dan lakukan pada mereka sungguh Allah Maha Mengetahui, Dialah pelindungmu sehingga Dia akan memberimu pahala pada hari kiamat, dan Dia akan memberi kamu pahala atas apa yang kamu berikan kepada mereka, yaitu kebaikanmu menafkahkan harta kepada mereka.

Diriwayatkan dari As-Saddi, ia berkata,

“Pada hari diturunkannya ayat ini, syariat zakat belum ada, yang ada hanya infak dan sedekah yang diberikan seseorang kepada keluargannya. Kemudian dihapus oleh syariat zakat.”

Menurut At-Tabari, firman Allah SWT ini dapat dipahami pula sebagai anjuran dari Allah SWT untuk berinfak yang diberikan kepada kedua orang tua, dan kerabatnya, dan orang-orang yang disebutkan pada ayat ini, yang hukumnya tidak wajib.

ASBABUNNUZUL (Sebab Turunnya Ayat)

Diriwayatkan oleh Ibu Jarir, dari Ibnu Juraij bahwa ayat ini turun ketika sebagian orang mukmin bertanya kepada Rasulullah SAW, kemana mereka menginfakkan harta benda. (Lubabun Nuqul:

Sedekah

Istilah sedekah dalam teks Arab tertulis shadaqah punya kemiripan dengan istilah infaq di atas, tetapi lebih spesifik. Sedekah adalah membelanjakan harta atau mengeluarkan dana dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.

Al-Raghîb al-Asfahanî mendefinisikan bahwa sedekah adalah:

مَا يُخْرِجُهُ الإْ نْسَانُ مِنْ مَالِهِ عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ

(sedekah adalah) harta yang dikeluarkan oleh seseorang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Sedangkan kata “sedekah“ secara bahasa berasal dari akar kata (shadaqa) yang terdiri dari tiga huruf: Shâd-Dal-Qâf, yang berarti sesuatu yang benar atau jujur. Kemudian orang Indonesia merubahnya menjadi sedekah. Sedekah bisa diartikan mengeluarkan harta di jalan Allâh, sebagai bukti kejujuran atau kebenaran iman seseorang. Maka Rasûlullâh menyebut sedekah sebagai burhân (bukti), sebagaimana sabdanya:

وعن أبي مالكٍ الحارث بن عاصم الأشعريِّ – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – : الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمان ، والحَمدُ لله تَمْلأُ الميزَانَ ، وَسُبْحَانَ الله والحَمدُ لله تَملآن – أَوْ تَمْلأُ – مَا بَينَ السَّماوات وَالأَرْضِ، والصَّلاةُ نُورٌ ، والصَّدقةُ بُرهَانٌ ، والصَّبْرُ ضِياءٌ ، والقُرْآنُ حُجةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ .كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائعٌ نَفسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُها رواه مسلم

Dari Abû Malik al-Harits bin ‘Ashim al-Asy’arî ia berkata: Rasûlullâh bersabda: “Suci adalah sebagian dari iman, membaca alhamdulillah dapat memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdulillah dapat memenuhi semua yang ada di antara langit dan bumi, shalat adalah cahaya, sedekah itu adalah bukti iman, sabar adalah pelita dan al-Qur’ân untuk berhujjah terhadap yang kamu sukai ataupun terhadap yang tidak kamu sukai. Semua orang pada waktu pagi menjual dirinya, kemudian ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang membinasakan dirinya.” (HR Muslim).

Sedekah bisa diartikan juga dengan mengeluarkan harta yang tidak wajib di jalan Allâh. Tetapi kadang diartikan sebagai bantuan non-materi, atau ibadah-ibadah fisik non-materi, seperti menolong orang lain dengan tenaga dan pikirannya, mengajarkan ilmu, bertasbih, berdzikir, bahkan melakukan hubungan suami istri, disebut juga sedekah. Ini sesuai dengan hadits Rasûlullâh:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه أنَّ ناساً قالوا : يَا رَسُولَ الله ، ذَهَبَ أهلُ الدُّثُور بالأُجُورِ ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي ، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ ، وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أمْوَالِهِمْ ، قَالَ : أَوَلَيسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُونَ بِهِ : إنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقةً ، وَكُلِّ تَكبيرَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَحمِيدَةٍ صَدَقَةً ، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً ، وَأمْرٌ بالمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وفي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قالوا : يَا رسولَ اللهِ ، أيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أجْرٌ ؟ قَالَ : أرَأيتُمْ لَوْ وَضَعَهَا في حَرامٍ أَكَانَ عَلَيهِ وِزرٌ ؟ فكذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا في الحَلالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ رواه مسلم

Dari Abû Dzar: Sesungguhnya sebagian dari para sahabat berkata kepada Nabi : “Wahai Rasûlullâh, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi bersabda: “Bukankah Allâh telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershadaqah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shadaqah, tiap-tiap tahmid adalah shadaqah, tiap-tiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah“. Mereka bertanya: “Wahai Rasûlullâh, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab: “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR Muslim).

Jadi beda antara infaq dan sedekah dalam niat dan tujuan, di mana sedekah itu sudah lebih jelas dan spesifik bahwa harta itu dikeluarkan dalam rangka ibadah. Sedangkan infaq, ada yang sifatnya ibadah (mendekatkan diri kepada Allâh) dan juga termasuk yang bukan ibadah. Maka istilah sedekah tidak bisa dipakai untuk membayar pelacur, atau membeli minuman keras, atau menyogok pejabat. Sebab sedekah hanya untuk kepentingan mendekatkan diri kepada Allâh.

Lebih jauh lagi, istilah sedekah yang intinya mengeluarkan harta di jalan Allâh, ada yang hukumnya wajib dan ada yang hukumnya sunnah. Ketika seseorang memberikan hartanya kepada anak yatim, atau untuk membangun masjid, mushalla, pesantren, perpustakaan, atau memberi beasiswa, semua itu adalah sedekah yang hukumnya bukan wajib. Termasuk ketika seseorang mewakafkan hartanya di jalan Allâh, bisa disebut dengan sedekah juga.

Di dalam hadits Nabi r yang menjadi dasar disyariatkan waqaf, Nabi Muhammad menyebutkan dengan istilah sedekah.

تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ

Bersedekahlah dengan pokoh harta itu (kebun kurma), tapi jangan dijual, jangan dihibahkan dan jangan diwariskan.” (HR al-Bukhâri)

 

 

MERAIH KHUSUS’ DALAM IBADAH Oleh ; Syukri Ilyas, S.Ag. MA Penyuluh Agama Islam Fungsional Kementerian Agama Kota Batam

 

Khusyu’ dalam ibadah kedudukannya seperti ruh/jiwa dalam tubuh manusia, sehingga ibadah yang dilakukan tanpa khusyu’ adalah ibarat tubuh tanpa jasad alias mati

Khusyu’ dalam ibadah kedudukannya seperti ruh/jiwa dalam tubuh manusia1, sehingga ibadah yang dilakukan tanpa khusyu’ adalah ibarat tubuh tanpa jasad alias mati.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala memuji para Nabi dan Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dengan sifat mulia ini, yang mereka adalah hamba-hamba-Nya yang memiliki keimanan yang sempurna dan selalu bersegera dalam kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-Anbiyaa’: 90).

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dengan sifat-sifat mulia yang ada pada mereka, di antaranya sifat khusyu’:

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Ahzaab: 35).

Bahkan Allah Ta’ala menjadikan sifat agung ini termasuk ciri utama orang-orang yang sempurna imannya dan sebab keberuntungan mereka2, dalam firman-Nya:

ô‰s% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ   tûïÏ%©!$# öNèd ’Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”.

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memohon kepada Allah Ta’ala sifat mulia ini dalam doa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”3.

Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk dan khusyu’ kepada Allah Ta’ala4.

Arti khusyu’ dan hakikatnya

Secara bahasa khusyu’ berarti as-sukuun (diam/tenang) dan at-tadzallul (merendahkan diri). Sifat mulia ini bersumber dari dalam hati yang kemudian pengaruhnya terpancar pada anggota badan manusia.

Imam Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta’ala). Tatkala Hati manusia telah khusyu’ maka semua anggota badan akan ikut khusyu’, karena anggota badan (selalu) mengikuti hati, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia”.

Maka jika hati seseorang khusyu’, pendengaran, penglihatan, kepala, wajah dan semua anggota badannya ikut khusyu’, (bahkan) semua yang bersumber dari anggota badannya”5.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Para ulama sepakat (mengatakan) bahwa khusyu’ tempatnya dalam hati dan buahnya (tandanya terlihat) pada anggota badan”6.

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Khusyu’ dalam shalat adalah hadirnya hati (seorang hamba) di hadapan Allah Ta’ala dengan merasakan kedekatan-Nya, sehingga hatinya merasa tentram dan jiwanya merasa tenang, (sehingga) semua gerakan (angota badannya) menjadi tenang, tidak berpaling (kepada urusan lain), dan bersikap santun di hadapan Allah, dengan menghayati semua ucapan dan perbuatan yang dilakukannya dalam shalat, dari awal sampai akhir. Maka dengan ini akan sirna bisikan-bisikan (Setan) dan pikiran-pikiran yang buruk. Inilah ruh dan tujuan shalat”7.

Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf ketika beliau melihat seorang laki-laki yang bermain-main dalam shalatnya: “Seandainya hati orang ini khusyu’ maka akan khusyu’ semua anggota tubuhnya”8.

Lebih lanjut, imam al-Bagawi memaparkan makna ini dalam ucapan beliau: “Para ulama berbeda (pendapat) dalam makna khusyu’, Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu berkata: “(Orang-orang yang khusyu’ adalah) mereka yang selalu tunduk dan merendahkan diri (kepada AllahTa’ala). al-Hasan (al-Bashri) dan Qatadah berkata: “(Mereka adalah) orang-orang yang selalu takut (kepada-Nya)”. Muqatil berkata: “(Mereka adalah) orang-orang yang merendahkan diri (kepada-Nya)”. Mujahid berkata: “Khusyu’ adalah menundukkan pandangan dan merendahkan suara”. Khusyu’ (artinya) mirip dengan khudhu’, cuma khudhu’ ada pada (anggota) badan, sedangkan khusyu’ ada pada hati, badan, pandangan dan suara. Allah Ta’ala berfirman:

Dan (pada hari kiamat) khusyu’lah (merendahlah) semua suara kepada Yang Maha Pemurah” (QS Thaahaa: 108)”9.

Khusyu’ adalah buah manis dari ilmu yang bermanfaat

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan”10.

Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menggandengkan empat perkara yang tercela ini, sebagai isyarat bahwa ilmu yang tidak bermanfaat memiliki tanda-tanda buruk, yaitu hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan11nu’uudzu billahi min dzaalik.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa ilmu yang tidak menimbulkan (sifat) khusyu’ dalam hati maka ini adalah ilmu yang tidak bermanfaat”12.

Maka hadits ini merupakan argumentasi yang menunjukkan bahwa sifat khusyu’ adalah termasuk buah yang manis dan agung dari ilmu yang bermanfaat.

Imam al-‘Ala-i berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (dalam hadits ini) menggandengkan antara memohon perlindungan (kepada Allah Ta’ala) dari ilmu yang tidak bermanfaat dan dari hati yang tidak khusyu’, (maka) ini mengisyaratkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang mewariskan sifat khusyu’ (dalam diri manusia)”13.

Lebih lanjut, imam Ibnu Rajab menjelaskan keterikatan antara ilmu yang bermanfaat dan sifat khusyu’ dalam ucapan beliau: “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang merasuk dan menyentuh hati manusia, kemudian menumbuhkan dalam hati ma’rifatullah (mengenal AllahTa’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna) dan meyakini kemahabesaran-Nya, (demikian pula) rasa takut, pengagungan, pemuliaan dan cinta (kepada-Nya). Tatkala sifat-sifat ini telah menetap dalam hati (seorang hamba), maka hatinya akan khusyu’ lalu semua anggota badannyapun akan khusyu’ mengikuti kekhsyu’an hatinya”14.

Inilah keutamaan khusyu’ yang merupakan buah utama ilmu yang bermanfaat, sekaligus merupakan ilmu yang pertama kali diangkat oleh Allah Ta’ala dari muka bumi ini15, sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Darda’ Radhiallahu’anhu bahwa RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Yang pertama kali diangkat (oleh Allah) dari umat ini adalah sifat khusyu’, sehingga (nantinya) kamu tidak akan melihat lagi seorang yang khusyu’ (dalam ibadahnya)16.

Khusyu’ dalam shalat

Sifat khusyu’ dituntut dalam semua bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, akan tetapi dalam ibadah shalat, sifat yang agung ini lebih terlihat wujud dan pengaruh positifnya.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Sungguh Allah telah mensyariatkan bagi hamba-hamba-Nya berbagai macam ibadah yang akan tampak padanya kekhusyu’an (anggota) badan (seorang hamba) yang bersumber dari kekhusyu’an, ketundukan dan kerendahan diri dalam hatinya. Dan termasuk ibadah yang paling tampak padanya kekhusyu’an adalah ibadah shalat. Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang khusyu’ dalam shalat mereka dalam firman-Nya:

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”17.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Para ulama menafsirkan (arti) khusyu’ dalam shalat yaitu diamnya anggota badan yang disertai dengan ketenangan (dalam) hati. Maksudnya: menghadirkan/mengkonsentrasikan hati dalam shalat dan menjadikan anggota badan tenang, maka tidak ada perbuatan sia-sia dan bermain-main (dalam shalat) disertai hati yang hadir berkonsentrasi menghadap ke pada Allah Ta’ala. Tatkala hati (seorang hamba) menghadap kepada Allah Ta’ala yang maha mengetahui isi hati, maka pasti hamba tersebut akan (meraih) khusyu’ (dalam shalatnya) dan memusatkan pikirannya kepada Zat yang dia sedang bermunajat kepada-Nya, yaitu Allah Ta’ala. Kalau demikian khusyu’ adalah sifat ruhani dalam diri manusia yang menimbulkan ketenangan dalam hati dan anggota badan”18.

Ciri inilah yang ada pada orang-orang yang sempurna keimanannya, para ShahabatRadhiallahu’anhum, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS al-Fath: 29).

Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna ayat ini: “Yaitu Khusyu’ (dalam shalat) dan tawadhu’ (sikap merendahkan diri)”19.

Lebih lanjut, imam Ibnu Katsir menjelaskan manfaat dan faidah besar dari shalat yang khusyu’ dalam membawa seorang mukmin untuk merasakan kemanisan iman dan menjadikan shalatnya sebagai qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) baginya. Beliau berkata20: “Khusyu’ dalam shalat hanyalah akan diraih oleh orang yang hatinya tercurah sepenuhnya kepada shalat (yang sedang dikerjakannya), dia hanya menyibukkan diri dan lebih mengutamakan shalat tersebut dari hal-hal lainnya. Ketika itulah shalat akan menjadi (sebab) kelapangan (jiwanya) dan kesejukan (hatinya), sebagamana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallamdalam hadits riwayat imam Ahmad dan an-Nasa-i, dari Anas bin MalikRadhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Allah menjadikanqurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat”21.

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada BilalRadhiallahu’anhu:

Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat22.

Cara untuk meraih khusyu’

Dikarenakan sifat khusyu’ sumbernya dari dalam hati manusia, maka sifat ini hanya bisa diraih dengan taufik dan anugerah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, cara utama untuk meraih sifat mulia ini dan sifat-sifat agung lainnya dalam agama adalah dengan banyak berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, imam Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhiir berkata: “Aku mengingat-ingat apakah penghimpun segala kebaikan, karena kebaikan itu banyak; puasa, shalat (dan lain-lain). Semua kebaikan itu ada di tangan Allah Ta’ala, maka jika kamu tidak mampu (memiliki) apa yang ada di tangan Allah Ta’ala kecuali dengan memohon kepada-Nya agar Dia memberikan semua itu kepadamu, maka berarti penghimpun (semua) kebaikan adalah berdoa (kepada Allah Ta’ala)”23.

Kemudian sifat khusyu’ akan diraih insya Allah dengan seorang hamba mengenal Allah Ta’aladengan cara yang benar,melalui pemahaman terhadap nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna. Inilah ilmu yang paling mulia dalam Islam dan merupakan jalan utama untuk meraih semua sifat dan kedudukan yang mulia di sisi AllahTa’ala.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allah Ta’ala) adalah orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia”24.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali memaparkan hal ini dalam ucapan beliau:

“Asal (sifat) khusyu’ yang terdapat dalam hati tidak lain (bersumber) dari ma’rifatullah(mengenal Allah Ta’ala dengan memahami nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna), mengenal keagungan-Nya, kemuliaan-Nya dan kesempurnaan-Nya. Sehingga barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka dia akan lebih khusyu’ (kepada-Nya).

Sifat khusyu’ dalam hati manusia dalam hati manusia bertingkat-tingkat (kesempurnaannya) sesuai dengan bertingkat-tingkatnya pengetahuan (dalam) hati manusia terhadap Zat yang dia tunduk kepada-Nya (Allah Ta’ala) dan sesuai dengan bertingkat-tingkatnya penyaksian hati terhadap sifat-sifat yang menumbuhkan kekhusyu’an (kepada Allah Ta’ala).

Ada hamba yang (meraih) khusyu’ (kepada-Nya) karena penyaksiannya yang kuat terhadap kemahadekatan dan penglihatan-Nya (yang sempurna) terhadap apa yang tersembunyi dalam hati hamba-Nya, sehingga ini menimbulkan rasa malu kepada Allah Ta’ala dan selalu merasakan pengawasan-Nya dalam semua gerakan dan diamnya hamba tersebut.

Ada juga yang (meraih) khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kemahasempurnaan dan kemahaindahan-Nya, sehingga ini menjadikannya tenggelam dalam kecintaan kepada-Nya serta kerinduan untuk bertemu dan memandang wajah-Nya.

(Demikian pula) ada yang meraih khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kerasnya siksaan, pembalasan dan hukuman-Nya, sehingga ini membangkitkan rasa takutnya kepada Allah.

Maka Allah Ta’ala Dia-lah yang memperbaiki hati hamba-hamba-Nya yang tanduk dan remuk hatinya kepada-Nya. Allah Ta’ala maha dekat kepada hamba-Nya yang bermunajat kepada-Nya dalam shalat dan menempelkan wajahnya ke tanah ketika sujud, sebagaimana Dia maha dekat kepada hamba-Nya yang berdoa, memohon dan meminta ampun kepada-Nya atas dosa-dosanya di waktu sahur. Dia maha mengabulkan doa hamba-Nya serta memenuhi permohonannya, dan tidak ada sebab untuk memberbaiki kekurangan seorang hamba yang lebih agung dari kedekatan dan pengabulan doa dari-Nya”25.

Pemaparan imam Ibnu Rajab di atas merupakan makna firman Allah Ta’ala:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allah Ta’ala)” (QS Faathir:28).

Imam Ibnu Katsir berkata: “Arti (ayat ini): Hanyalah orang-orang yang berilmu dan mengenal Allah yang memiliki rasa takut yang sebenarnya kepada Allah, karena semakin sempurna pemahaman dan penegetahuan (seorang hamba) terhadap Allah, Zat Yang Maha Mullia, Maha kuasa dan Maha Mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-Nya semakin besar pula”

 

DO’A PEMBUKAAN MUSABAQAH TILAWATIL QUR’AN

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العلمين

والصلاة والسلام وعلى اشرف الانبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه اجمعين

الله اغفر لنا ولوالدينا وارحمهما كما ربيانا صغيرا

ولمسلمين ولمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الاحياء منهم والاموات

 برحمتك يا ارحم الراحمين

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim

Kami bermohon kiranya Engkau  mendengarkan dan mengabulkan do’a pinta hamba-Mu  yang saat  ini menundukkan kepala menengadahkan  tangan seraya memohon kehadapan-Mu  Taburkanlah cahaya Al-Qur’an dalam acara pelaksanaan Pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an                    ( MTQ )Tingkat Kecamatan Galang ­­­­­­­­­­­­­­­­­– Kota Batam yang kami cintai, semoga engkau Ya Allah tanamkan nilai-nilai     Al-Qur’an  dalam setiap amal dan usaha kami ini.Mantapkanlah rasa syukur dan keimanan dalam kepribadian kami Agar kami dapat mengaktualisasikan Ajaran kitab Suci-Mu dalam kehidupan  berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.

Ya Allah Ya Nashiir

Jauhkanlah kami dari sikap tidak           Al-Qur’ani,Jauhkanlah kami dari berharap selain hanya pada Ridho-Mu, Jauhkan kami dari setiap amal yang justru akan menjauhkan kami dari nilai-nilai Al-Qur’an, terangi hidup kami dengan cahaya Al-Qur’an, sinari qolbu kami dengan nur Al-Qur’an, jadikan generasi kami generasi yang cinta        Al-Qur’an, basahkan bibir masyarakat kami dengan membaca Al-Qur’an, hiasi wajah kami dengan sinar Al-Qur’an, masukkan orang-orang yang melaksanakan nilai-nilai Al-Qur’an kedalam Syurga-Mu

Allahumma Zayyinna biziinatil Qur’an

Waakrimna bikaramatil Qur’an

Wasyarrifna bisyaraafatil Qur’an

Wa adkhilna jannata maal Qur’an

Allahummaj’alil Qur’aana lana fid-dunya Qariina

Wafil Qabri Muunisa

Wafil Qiyaamati Syafii’a

Ya Allah Aziz Ya Ghaffar

Kami hamba-hamba-Mu yang lemah tak mampu berbuat lebih dari yang kami sanggupi, kami     tak sanggup berbakti seimbang dengan limpahan nikmat-Mu yang tiada bertepi, karena itu ampunilah kami, ampunilah segelap apapun masa lalu kami, ampuni sekelam apapun hari-hari yang telah kami jalani, ampuni senista apapun aib yang kami sembunyikan selama ini, ampuni jikalau selama ini kami sering melupakan-Mu, sehingga tidak bisa bersyukur atas segala nikmat yang telah Engkau beri.

Ya Allah Mujibassaiilin

Kuatkanlah iman kami Serta terimalah do’a-do’a yang kami panjatkan ini

أللهم أنت السلام ومنك السلام وأليك يعود السلام فحينا ربنا باالسلام وأدخلنا جنة دارالسلام تباركت ربنا وتعليت ياذالجلال والاكرا

ربنا عليك توكلنا واليك انبنا واليك المصير

اللهم اجعل جمعنا هذا جمعا مرحوما وتفرقنا من بعده تفرقا معصوما

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنه وقنا عذاب النار

وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه اجمعين

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BELAJAR BELAJAR DARI NABI IBRAHIM, MEMBANGUN CITA-CITA DUNIA DAN AKHIRAT

Oleh Syukri Ilyas, S.Ag. MA 

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ اَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

 

Kaum muslimin yang berbahagia!

Betapa besar karunia Allah Ta’ala kepada kita semua. Betapa tidak terhingga nikmat-Nya untuk kita semua. Ada yang kita sadari, namun lebih banyak yang luput dari kesadaran kita.

Marilah kita renungkan betapa banyak kedurhakaan kita kepada-Nya.

Betapa hari demi hari yang kita jalani tidak pernah luput dari kelalaian untuk mengingat-Nya. Tapi dengan semua kelalaian itu, Allah Azza wa Jalla tidak pernah lalai dan bosan untuk terus-menerus mencurahkan nikmatNya kepada kita. Semua kedurhakaan kita tidak menghalangi Dia yang Mahaperkasa untuk tetap menyelimuti kita dengan kasih sayangNya.Dan hari ini, Ia masih mengizinkan kita untuk sekali lagi bersujud kepadaNya, untuk sekali lagi bertakbir dan bertahlil mengagungkan namaNya, dan untuk sekali lagi bertaubat kepadaNya.Kita tidak pernah tahu, hadirin sekalian, boleh jadi inilah sujud terakhir kita padaNya di dunia ini. Inilah takbir dan tahlil terakhir kita untukNya. Dan inilah taubat kita untuk terakhir kalinya kepadaNya.

 

Allahu akbar, Allahu akbar, walillahilhamd.

 

Kaum muslimin rahimahukumullah!

Idul Adha akan selalu mengingatkan pada sosok Ibrahim alaihissalam dan keluarganya. Hari ini, di saat jutaan saudara kita kaum muslimin bergegas menyelesaikan prosesi ibadah haji yang agung, di tanah air ini, kita duduk sejenak untuk merenungkan pelajaran-pelajaran yang dititipkan Allah kepada kita melalui kisah monumental Nabi Ibrahim ‘alaihimussalam.

Allah Ta’ala berfirman:

 

 

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ

“Sungguh bagi kalian terdapat teladan yang baik dalam (diri) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya…” (al-Mumtahanah: 4)

Sosok Ibrahim ‘alaihissalam adalah teladan pengorbanan yang tulus. Nabi Ibrahim mengajarkan kepada kita bahwa seorang mukmin harus sepenuhnya hidup untuk sebuah obsesi dan cita-cita yang tinggi. Bahwa obsesi dan cita-cita seorang mukmin tidak akan pernah terhenti hingga ia menjejakkan kakinya di dalam Surga Allah. Obsesi dan cita-cita itulah yang membuatnya rela melakukan pengorbanan demi pengorbanan di kehidupan dunia yang terlalu singkat ini. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengajarkan kepada kita bahwa obsesi dan cita-cita hidup kita sepenuhnya harus selalu diukur dengan keridhaan dan kecintaan Allah Azza wa Jalla. Apa yang diridhai dan dicintai oleh Allah dan RasulNya, maka itulah obsesi dan cita-cita kita. Jika tidak, maka obsesi dan cita-cita itu harus segera kita hapus dan buang jauh-jauh dari kehidupan kita. Karena obsesi dan cita-cita yang tidak diridhaioleh Allah Ta’ala hanya akan membawa kehidupan kita dalam serial malapetaka dan kehancuran yang tidak akan habisnya.Maka demi obsesi dan cita-cita tertingginya akan Surga, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam melintasi gurun sahara yang kering, di bawah cengkraman terik matahari dan pelukan malam-malam yang dingin. Dan ia tidak sendiri dalam perjalanan itu. Istri dan bayi mungilnya ikut serta “menikmati” perjalanan penuh obsesi itu. Obsesi akan Surga Allah. Bayangkanlah, hadirin sekalian, betapa tidak mudahnya perjalanan itu! Tapi inilah caranya untuk membuktikan kepada Allah Azza wa Jalla bahwa mereka sungguh-sungguh dengan obsesi tentang Surga itu. Dan kita semua tentu mengetahui bahwa pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarga kecilnya itu tidak berhenti sampai di situ.Pertanyaan pentingnya untuk kita semua adalah:

Sudahkah obsesi dan cita-cita hidup kita sepenuhnya untuk Allah?

Jika jawabannya adalah iya, maka seberapa besar sudah pengorbanan yang kita tunjukkan kepadaNya untuk itu?

Bersyukurlah jika tahun ini kita ikut menyembelih hewan kurban, tapi untuk obsesi sehebat Surga, tentu harus lebih dari itu!.       dalam konteks pengorbanan ini pula, maka kita teringat kepada kisah heroik Keluarga Yasir di awal Islam, saat mereka melewati penyiksaan demi penyiksaan atas komitmen keislaman mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghibur mereka dengan mengatakan:

صَبْرًا يَا آلَ يَاسِرٍ ، فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

“Bersabarlah, wahai Keluarga Yasir! Karena sesungguhnya janji pertemuan kalian adalah Surga.”

 

Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamd!

 

Kaum muslimin yang berbahagia!

Hingga detik ini, negeri kita yang mayoritas muslim ini terus-menerus menjadi panggung tempat dipentaskannya berbagai macam krisis dan tragedi akhlak dan moral yang memilukan. Kisah-kisah para pejabat Negara yang korupsinya tidak pernah puas, yang didukung oleh kondisi penegakan keamanan dan keadilan yang berat sebelah dan memihak kepentingan tertentu, telah menjadi konsumsi rutin kita tiada henti. Pembasmian korupsi seperti lebih sering menemukan jalan buntu, namun penangkapan dengan dalih terorisme begitu sering mengukir prestasi.Lalu tiba-tiba kita dikejutkan oleh seorang hakim pengadilan negeri yang tertangkap basah dalam pesta narkoba di sebuah hotel, yang tanpa ragu menggelontorkan uang sebesar 10 juta rupiah dalam satu malam itu saja!, kemudian kita juga dikejutkan dengan tertangkap tangan seorang penegak hukum yang merupakan benteng terakhir tegaknya hukum di Indonesia ternyata benteng itu juga jebol, Begitulah krisis moral dan akhlak telah melanda orang-orang tua di negeriini. Lalu bagaimana dengan generasi mudanya?Dan semua itu adalah fenomena gunung es. Sedikit yang terungkap, dan lebih banyak lagi yang tidak terungkap.

Kita juga tentu mengikuti fenomena tawuran antar pelajar dan mahasiswa yang seringkali disebabkan oleh hal-hal remeh yang tidak masuk di akal. Dengan semua fenomena kaum muda Indonesia itu, kita kemudian dikejutkan dengan klaim sebuah media televisi bahwa lembaga-lembaga Rohis adik-adik kita di SMA adalah sarang pengkaderan teroris. Stasiun televisi itu lupa bahwa Rohis adalah benteng utama pembinaan moral anak-anak kita.

Kenyataan dan fakta ini tentu saja membuat kita bertanya: Mengapa itu semua terjadi? Dalam konteks perjuangan Nabi Ibrahim, kita dapat mengatakan bahwa banyak generasi tua dan generasi muda telah kehilangan obsesi dan cita-cita hidup yang sesungguhnya. Banyak orang berjalan dalam obsesi-obsesi semunya.Mereka semua mungkin tahu bahwa korupsi, berzina dan melakukan kezhaliman itu dosa. Tapi lemahnya obsesi dan cita-cita akhirat, membuat mereka takluk tak berdaya pada godaan dunia yang menghancurkan masa depan akhirat mereka.

Karena obsesi semacam ini pula, banyak orang tua yang lupa bahwa anak-anak mempunyai kebutuhan yang jauh lebih besar daripada uang dan materi. Mereka membutuhkan belaian cinta dan bimbingan penuh kasih sayang dari orang tua mereka.

Allahu akbar, Allahu akbar walillahilhamd!

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah!

Tapi harapan menjadi lebih baik selalu ada, sebagaimana pintu taubat Allah selalu terbuka bagi siapapun di antara kita yang ingin berubah menjadi hamba yang lebih baik.Sekali lagi, marilah belajar dari Nabi Ibrahim alaihissalam. Beliau adalah teladan bagi setiap orang tua yang menyayangi anaknya. Beliau mengajarkan kepada kita cara yang benar dalam menyayangi anak kita. Bukan dengan memuaskan segala permintaannya,tapi dengan mendekatkan mereka kepada Allah dengan penuh hikmah dan kelembutan.

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ

“Sesungguhnya Ibrahim itu adalah seorang yang lembut, pengasih dan selalu kembali (kepada Allah).” (Hud: 75)

Inilah sifat dan karakter dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang tua: lemah lembut, pengasih dan yang tidak kalah pentingnya: selalu kembali dan bersandar kepada Allah yang Mahakuat.Coba renungkan doa yang dipanjatkan Ibrahim karena kecintaannya kepada keluarga dan anak-anaknya:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa: ‘Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman dan jauhkanlah aku serta keturunanku dari menyembah berhala…” (Ibrahim: 35)

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

“Wahai Tuhanku, jadikanlah aku sebagai orang yang menegakkan shalat, beserta keturunanku. Duhai Tuhan kami, terimalah doaku…” (Ibrahim: 40)

 

Kaum muslimin yang berbahagia!

Demikianlah kekhawatiran dan kegelisahan Ibrahim terhadap keturunannya. Karena itu, seperti Nabi Ibrahim, seharusnya kita selalu khawatir jika anak-anak kita akhirnya tidak lagi menyembah Allah dan menghambakan diri kepada selain Allah. Seharusnya kekhawatiran anak kita tidak shalat dan menjalankan perintah Allah lebih besar daripada saat ia kehilangan karirnya.

Di sinilah Nabi Ibrahim alaihissalam –sekali lagi- mengajarkan kepada kita untuk berani berkorban demi obsesi dan cita-cita akhirat kita.Kita harus berani mengorbankan obsesi politik kita, jika itu hanya akan menghancurkan masa depan akhirat kita.Kita harus berani mengorbankan obsesi karir dan jabatan kita, jika itu hanya akan membuat Allah murka kepada kita.Kita harus berani mengorbankan obsesi nafsu kita, jika itu hanya akan membuat kita menyesal di saat penyesalan tidak akan pernah berguna lagi di Padang Mahsyar.Semua obsesi keduniaan itu tidak akan membuat kita bahagia, jika pada akhirnya hanya akan menorehkan nama-nama kita dalam barisan makhluk yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla.

Allahu akbar, Allahu akbar walillahilhamd

Hadirin yang dimuliakan Allah!

Kepada mereka yang mendapatkan amanah untuk memimpin dan mengatur negeri ini, mulai dari level nasional hingga level lokal…Kepada aparatur peradilan dan keamanan…Tunaikanlah amanah mengatur negeri ini dengan penuh rasa takut kepada Allah. Jangan pernah berlaku zhalim sedikit pun, karena itu –kata Rasulullah- akan menjadi kegelapan yang berlapis-lapis pada hari kiamat. Renungkanlah selalu firman Allah Ta’ala ini:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

“Dan jangan pernah sekalipun engkau menyangka Allah akan lalai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang zhalim. Sungguh Allah hanya mengulur mereka hingga hari di mana pandangan mata mereka terbelalak.” (Ibrahim: 42)

Kepada rekan-rekan generasi muda, jangan pernah terlena dengan tubuh yang masih kuat, mata yang masih tajam, kulit yang mesih kencang dan usia yang belum tua. Semua itu sama sekali bukan jaminan bahwa perjalanan Anda di dunia masih lama. Sebab tua dan muda memiliki kedudukan yang sama di hadapan kematian. Gunakanlah tubuh yang kuat dan usia muda ini untuk bekerja meraih kesuksesan dunia dan akhirat Anda.

Kepada para muslimah yang mulia, kaum wanita adalah pilar utama bangunan suatu masyarakat. Dan kaum wanita hanya bisa menjadi pilar utama itu jika mereka tetap berada dalam fitrah kewanitaan mereka sesuai yang digariskan Allah dan RasulNya. Dan hari ini, Indonesia yang tertatih-tatih ini menanti kehadiran Anda, para wanita sejati, yang membelai dan mendidik anak-anaknya dengan cinta, yang belajar setinggi-tingginya agar dapat menjadi ibu yang cerdas dan bijak bagi anak-anaknya, bukan untuk yang lainnya…

Kepada para penanggung jawab dan pelaksana media informasi, pesan kami hanya satu: tulis dan sampaikan apa saja yang ingin Anda sampaikan, tapi ingatlah bahwa setiap kata dan ucapan itu akan Anda pertanggungjawabkan di hadapan Allah Azza wa Jalla. Tak satu pun kata yang tertulis atau terucapkan yang akan luput dari pengadilan Allah kelak. Karenanya berhati-hatilah dengan pena dan ucapan Anda.

Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil ham

Kaum muslimin yang berbahagia!

Mari berkurban sesuai tuntunan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam , hewan yang dapat dikurbankan adalah domba yang genap berusia 6 bulan, kambing yang genap setahun, sapi yang genap 2 tahun. Syaratnya, hewan kurban tidak boleh memiliki cacat atau penyakit yang bisa berpengaruh pada dagingnya, jumlah maupun rasanya, misalnya: kepicakan pada mata, kepincangan pada kaki dan penyakit pada kulit, kuku atau mulut.

Seekor domba atau kambing hanya mencukupi untuk kurban satu orang saja, sedangkan seekor sapi boleh berserikat untuk tujuh orang, kecuali berserikat pahala maka boleh pada semua jenis tanpa batas.

Sebaiknya pemilik kurban yang menyembelih sendiri hewan kurbannya, tetapi dia bisa mewakilkannya kepada penjagal, dengan syarat seorang muslim yang menjaga shalatnya, mengetahui hukum-hukum menyembelih dan upahnya tidak diambilkan dari salah satu bagian hewan kurban itu sendiri, kulit atau daging, meskipun dia juga bisa mendapat bagian dari hewan kurban sebagai sedekah atau hadiah.

Waktu penyembelihan hewan kurban adalah seusai pelaksanaan shalat Idul Adha hingga tiga hari tasyriq setelahnya.

Pembagian hewan kurban yang telah disembelih dapat dibagi tiga bagian, sepertiga buat pemiliknya, sepertiga buat hadiah dan sepertiga buat sedekah kepada fakir miskin. Nilai pahala hewan kurban seseorang di sisi Allah Ta’ala tidak hanya diukur dengan banyaknya daging yang dihasilkan atau banyaknya darah yang dikucurkan, tetapi sifat keikhlasan pemiliknya, olehnya itu luruskanlah niat hanya mengharap balasan dariNya semata.

Dan karena hari ini bertepatan dengan hari Jum’at, maka perlu diketahui jika hari raya bertemu dengan hari Jum’at, maka kewajiban shalat Jum’at menjadi gugur bagi kaum pria yang mengikuti shalat Ied, sehingga ia hanya wajib mengerjakan shalat Zhuhur. Namun yang afdhal jika ia tetap hadir shalat Jum’at. Tetapi para imam dan khathib Jum’at diharapkan tetap menunaikan shalat Jum’at, agar syiar Jum’at tetap terjaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Telah bertemu pada hari kalian ini 2 hari raya. Maka barang siapa yang mau, maka shalat Ied itu telah mencukupkannya dari shalat Jum’at, tetapi kami (tetap) melaksanakan shalat Jum’at.”

 

 

 

 

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar walillahilhamd!

Akhirnya, di ujung khutbah ini, marilah kita tundukkan hati dan jiwa serta seluruh tubuh ini kepada Allah, untuk berdoa dengan penuh keikhlasan padanya.


الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسوله الأمين و على آله وصحبه والتابعين،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَحْمَدُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُحْمَد وَنَشْكُرُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُشْكَر وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ فَإِنَّكَ أَنْتَ أَهْلُ الْمَجْدِ وَالثَّناَءِ ، رَبَّناَ ظَلَمْناَ أَنْفُسَناَ ظُلْماً كَثِيْراَ وَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لَناَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْناَ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَحِيْم

Duhai Allah yang Maha pengasih, yang Mahalembut…kami tidak pernah sanggup menghitung karuniaMu kepada kami, seperti kami tidak pernah sanggup menghitung berapa banyak kedurhakaan kami kepadaMu. Seharusnya kami patuh pada perintahMu, tapi kami lebih sering durhaka. Seharusnya kami jauhi laranganMu, tapi kami lebih sering mengikuti hawa nafsu kami…

Duhai Allah yang Maha pengampun, tidak ada yang mampu mengampuni dan menutupi semua dosa kami selain Engkau. Engkaulah Penguasa segalanya. Ampunilah dosa-dosa kami, dosa-dosa yang berserakan di sepanjang hidup kami…Ampuni kelalaian kami mengingatMu…Ya Allah, jika Engkau tak lagi berkenan mengampuni kami, maka entah ke mana lagi kaki ini melangkah mencari pengampunan itu…

Duhai Allah yang Maha melihat, yang Maha mendengar…hari ini, untuk kesekian kalinya kami menundukkan jiwa kami dan mengakui betapa seringnya kami durhaka kepada kedua orang tua kami. Tidak jarang kami membantah dan berbicara tidak pantas kepada mereka…Betapa seringnya kami mengabaikan keperluan mereka…Kami seringkali lupa bahwa mereka-lah pintu kami memasuki Surga-Mu, ya Allah.

Duhai Allah yang Maha luas ampunanNya, ampunilah semua kedurhakaan dan kelalaian kami kepada mereka…liputilah kedua orang tua kami dengan ampunan dan rahmatMu…terangi alam kubur mereka yang telah tiada dan berikan kekuatan beramal shaleh kepada mereka yang masih hidup…Ya Allah, izinkan kami untuk berbakti sebaik mungkin kepada mereka hingga kehidupan kami berakhir di dunia ini…

Ya Allah, yang Maha perkasa dan Maha bijaksana…Nun jauh di sana, ratusan bahkan ribuan saudara kami sedang melewati episode-episode yang berat dalam hidup mereka. Di Suriah, Irak, Palestina dan tempat lainnya, saudara-saudara kami tetap membesarkan dan mengagungkan Nama-Mu di bawah cengkraman musuh-musuhMu yang zhalim. Ya Allah, tidak ada satupun yang luput dari pengetahuanMu…Dengan keMahakuasaanMu, segerakanlah pertolongan dan kemenangan untuk mereka…Segerakanlah kehancuran dan kekalahan kepada siapapun yang berkonspirasi menzhalimi mereka, Ya ‘Aziz, Ya Jabbar, Ya Dzal Jalaali wal ikram…

Ya Allah, Tuhan yang Maha mendengar dan Maha melihat…karuniakanlah kepada kami pemimpin-pemimpin yang tidak pernah takut kecuali kepadaMu. Berikan hidayah kepada mereka untuk selalu beribadah dan menegakkan ketetapanMu…Karuniakanlah kepada kami para pemimpin yang memimpin kami dengan cinta, yang tulus memimpin untuk kebaikan kami di dunia dan akhirat…

Ya Allah, Zat Yang Maha Mengabulkan doa kabulkanlah doa kami, penuhilah permintaan kami. Kami adalahlah hamba-Mu yang lemah, harapan kami hanya kepadaMu, Engkau Maha Mendengar, Engkaulah Penguasa satu-satunya Yang Haq, Engkaulah sebaik-baik Pemberi yang diharap.

 

MEMAKNAI SIMBOL PELAKSANAAN IBADAH HAJI

Oleh Syukri Ilyas, S,Ag. MA

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (×3)اللهُ اَكبَرْ (×3

إنَّ الحَمْدَ لِله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا ، مَنْ يَهْدِهِ الله ُفَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، وَأشْهَدُ أنْ لا إلهَ إلا الله ُوَحْدَهُ لا شَريْكَ لَهُ وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، وَأمِيْنُهُ عَلىَ وَحْيِهِ ، وَخِيْرَتُهُ مِنْ خَلْقِهِ ، وَسَفِيْرُهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ عِبَادِهِ ، المْبَعْوُثُ بِالدِّيْنِ الْقَوِيْمِ ، وَالْمَنْهَجِ الْمُسْتَقِيْمِ ، أَرْسَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْعَالمَيِنْ ، وَإِمَاماً لِلْمُتَّقِيْنَ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ } آل عمران : 102[ . { يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً } النساء : 1[ . { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً }الأحزاب : 70-71.: (اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْن

Hadirin kaum muslimin siding shalat ‘Id yang dirahmati Allah

Rangkaian Ibadah Haji seluruhnya adalah sebuah simbol dan mempunyai makna yang harus diketahui, dipahami bahkan dijiwai terutama bagi yang melaksanakan haji. Haji juga dapat dikatakan sebagai simbol perjuangan kemanusiaan. Mari kita cermati mulai dari

1.     Cara Ihram

2.     Thawaf mengelilingi ka’bah

3.     Sa’i, Wuquf di Arafah

4.     Melontar jumrah

5.     Mencium hajar aswad

6.      Qurban dan Tahallul.

Semuanya merupakan Ritual dan Ibadah yang penuh makna dan hikmah secara simbolik.

 

1. Ihram

Ihram yaitu :  Pakaian yang  terdiri dari selembar kain putih, tanpa sepatu dan tutup kepala. Pakaian ini seperti pakaian pengemis yang menjadi simbol dari peminta-minta, pengemis tidak pantas menggunakan pakaian yang menggambarkan kehebatan manusia dari sisi duniawi. Karena itu, pada diri seorang tidak boleh lekat ditubuhnya simbol kesombongan dan  manusia tidak boleh memiliki kesibukan lain kecuali kesibukan dalam rangka mencari perhatian Allah Swt. Di hadapan Allah, semua manusia sama, kecuali ketakwaannya. Sementara pakaian sering kali bisa menjadi simbol perbedaan dan menggambarkan status sosial dan pengaruh kejiwaan. Ini berarti, seorang haji harus menanggalkan segala macam perbedaan, keangkuhan dan status sosial dalam berinteraksi dengan kebenaran yang datang dari Allah Swt. Karena itu sebagai seorang muslim kita tidak boleh mengukur kebenaran dari jabatan status sosial, harta dan sebagainya.

Ihram dalam simbol persamaan derajat manusia dalam menghadap Allah SWT. Pakaian seperti itulah yang akan dikenakan setiap Muslim dalam menghadap Allah ketika kematiannya dan itu pula sebabnya mengapa ibadah haji disebut juga dengan latihan untuk mati atau kembali kepada Allah. Karena itu, seorang haji semestinya telah memiliki kesiapan yang lebih baik dalam bentuk amal saleh yang banyak untuk menghadapi kematian, kapanpun, dimanapun dalam kondisi keadaan apapun juga. Allah berfirman : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal saleh dan janganlah ia mempersekutukan Allah dengan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya (QS. 18:110).

 

2. Thawaf Mengelilingi Ka’bah

Thawaf Secara harfiah berarti berkeliling atau mengitari sesuatu. Dalam Haji ia berarti prosesi mengelilingi, mengitari bangunan kubus (Ka’bah) sebanyak tujuh kali. Ka’bah,menurut al Qur’an, adalah rumah paling awal dibangun manusia. Ia sengaja dibangun sebagai simbol pusat rotasi kehidupan semesta. Ka’bah bagai matahari yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi oleh planet-planet. Ini sesungguhnya hendak menggambarkan bahwa seluruh alam semesta berputar tidak pernah berhenti mengitarinya, sambil menyenandungkan pujian dan mengagungkan Allah sang Penciptanya. “Yusabbihu Lahu ma fi al Samawati wa al Ardh”.

Thawaf juga adalah simbol perjuangan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyatukan langkah, pikiran dan hati manusia dalam kepasrahan kepada Allah dan menuju ke satu titik dari mana mereka berasal dan ke mana pula mereka akan kembali. Titik itu tidak lain adalah Allah, termasuk manusia harus mengabdi dan menghambakan diri, karena Dialah Penciptanya. Perjuangan hidup manusia seharusnya memang di arahkan dalam kerangka ini dan bukan ke arah dan dalam kerangka yang lain. “Siapa yang mencari cara hidup selain menundukkan dan memasrahkan diri kepada Tuhan, maka tidak akan diterima, dan dia akan sengsara di hari kemudian”.

 

3. Sa’i/Berlari Kecil

 

Sa’i  berarti berusaha dan bekerja keras. Dalam ibadah haji ia berarti prosesi berjalan kaki dan kadang-kadang berlari kecil, dari bukit Shafa ke bukit Marwah. Ini adalah simbol perjuangan manusia untuk mempertahankan eksistensi (hidup) yang tak pernah berhenti. Simbol ini pada mulanya ditampilkan melalui kisah seorang perempuan bernama Siti Hajar. Ia mencari air di lembah yang tandus untuk Ismail, seorang bayi yang baru saja dilahirkannya. Bayi ini anak hasil perkawinanya dengan Nabi Ibrahim. Kelahirannya sudah lama diidamkan ayahnya. Sayang begitu lahir, atas perintah Allah, Ibrahim harus meninggalkan sang anak dan ibunya. Ibrahim ke Palestina. Di tanah yang tandus,kering kerontang, tanpa tumbuhan itu, kedua anak manusia yang lemah itu harus berjuang untuk hidup. Sesuatu yang dicari sang ibu adalah air, karena air adalah sumber utama kehidupan, sekaligus kesuburan bagi manusia dan alam. Allah mengatakan:”Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu”(QS.Al Anbiya,30). Tuhan lalu menganugerahi nya air Zam-zam.


4. Wuquf di Arafah

 

Wuquf di Arafah  makna harfiyahnya adalah berhenti, berdiam diri sejenak di area tanah yang maha luas dan kering, di Arafah, yang konon, di situ tempat bertemunya kembali nabi Adam dan Siti Hawa. Dalam ibadah haji, Wuquf berarti berada di Arafah untuk berizikir, berdoa dan berkontempelasi. Ini adalah kegiatan yang paling utama. “Al Hajj Arafah”,  kata Nabi. Begitu utamanya sehingga para jamaah yang tidak sempat berada di tempat ini, belum dianggap telah melaksanakan haji. Dia harus mengulangi hajinya pada kesempatanyang lain. Prosesi ini merupakan contoh atau gambaran keberadaan manusia yang dicita-citakan Allah. Di tempat ini semua manusia dari berbagai pelosok dunia dengan berbagai bahasa, suku, warna kulit, tradisi, aliran keagamaan,kebangsaan, jabatan, pangkat dan lain-lain bersatu dan bersama-sama menghadapAllah sebagai penguasa alam semesta satu-satunya. Kedudukan mereka di hadapanAllah adalah sama. Orang yang paling dimuliakan dan dihargai Allah adalah orang yang paling taqwa, orang yang paling ikhlas mengesakan Allah dan paling banyak amal baiknya.
Arafah juga merupakan gambaran di dunia bagaimana kelak di hari kiamat semua manusia akan dikumpulkan dan menunggu keputusan Allah akan nasib sesudahnya, apakah akan dimasukkan ke dalam surga atau ke neraka. Sama seperti di tempat ini, semua manusia di padang mahshyar kelak, dalam keadaan tanpa membawa apa-apa dan hanya akan membawa iman dan amalnya masing-masing sekaligus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah swt di padang mahsyar kelak, tidak ada lagi harta, kekuasaan,kekerabatan, pertemanan dan keluarga yang bisa menolong atau membantunya. Allah berfirman :

“Hari di mana harta dan anak-anak tak akan berguna, kecualiorang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Dan di hari itudidekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertaqwa, dan diperlihatkan denganjelas neraka kepada orang- orang yang sesat).(Q.S.al Syu’ara,[26:88-89)

Di Arafah, 15 abad yang lalu, Nabi besar Muhammad saw, menyampaikan pidato sebagai pesan terakhirnya yang ditujukan kepada seluruh umat manusia.Pidato Nabi yang disampaikannya di atas untanya tersebut dihadiri oleh sekitar100 ribu orang. Isi dari pidato tersebut antara lain sebagai berikut:

“Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku ini, karena aku tidak tahu apakah aku dapat menjumpaimu lagi setelah tahun ini di tempat wukuf ini.

“Wahai manusia. Sesungguhnya darah kamu dan harta kekayaan kamu merupakan kemuliaan bagi kamu sekalian, sebagaimana mulianya hari ini di bulan yang mulia ini, di negeri yang mulia ini. Ketahuilah sesungguhnya segala tradisi jahiliyah mulai hari ini tidak berlaku lagi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara kemanusiaan (seperti pembunuhan, dendam, dan lain-lain) yang telah terjadi di masa jahiliyah, semuanya batal dan tidak boleh berlaku lagi.

“Wahai manusia. Aku berwasiat kepada kalian, perlakukanlah perempuan dengan baik. Kalian sering memperlakukan mereka seperti tawanan. Kalian tidak berhak memperlakukan mereka kecuali dengan baik.

“Wahai manusia, aku berwasiat kepadamu, perlakukan isteri-isterimu dengan baik. Kalian telah mengambilnya sebagai pendamping hidupmu berdasarkan amanat Allah, dan kalian dihalalkan berhubungan suami-isteri berdasarkan sebuah komitmen untuk kesetiaan yang kokoh”. Dan masih banyak Pidato Rasulullah ketika di arafah.


5. Melontar jumrah

 

Jumrah adalah melempar batu di tiga tempat di Mina, masing-masing tujuh kali.Pada tanggal 10 Zhulhijjah para haji hanya dibolehkan melempar 7 batu di satu tempat saja, yang disebut Jumrah Aqabah/Kubra. Tanggal 11 dan 12 Zhulhijjah, mereka wajib melakukannya di tiga tempat: Ula, Wusta dan Aqabah.Jumrah adalah simbol perjuangan manusia untuk membersihkan hati dengan membuang dan melemparkannya jauh-jauh kecenderungan-kecenderungan egoistik yang seringkali menyesatkan bahkan menyengsarakan manusia yang lain. Ia sering digambarkan bagai mengusir setan, karena makhluk inilah punya karekter yang selalu ingin menyesatkan manusia. Angka Tujuh menunjukkan sekali lagi bahwa perjuangan ini tidak boleh berhenti. Ini karena dalam diri manusia ada kecenderungan melampiaskan nafsunya secara tak terkendali dan acapkali diarahkan untuk menghancurkan kemanusiaan. Allah menyatakan : “Sesungguhnya hawa nafsu selalu menggerakkan manusia ke arah tindakan-tindakan yang buruk”.(QS.Yusuf,53).


6. Tahallul


Tahalul artinya halal. Bagi jamaah haji, setelah tahalul dengan menggunting atau mencukur rambut, berarti apa-apa yang semula tidak diperbolehkan untuk dilakukan, sekarang menjadi boleh. Ini berarti, seorang haji hanya malakukan hal-hal yang dibolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya, hal-hal yang diharamkan, baik itu yang menyenangkan atau menguntungkan, maka dia tidak akan melakukannya. Dengan demikian, setelah seorang muslim menunaikan ibadah haji, dia dituntut membuktikan kemabruran hajinya itu dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.


6. Mencium Hajar Aswad

 

Mengapa Tuhan memilih Hajar sebagai simbol.  Hajar diindentifikasi dengan sejumlah identitas sosio-kultural-politik. Hajar adalah perempuan, berkulit hitam, budak dan berkasta (kelas) rendah. Seluruh identitasnya adalah rendah dalam pandangan masyarakatnya ketika itu. Akan tetapi ia adalah seorang perempuan yang bertanggung  jawab. Ali Syari’ati mengatakan: “Ia seorang ibu yang mencinti diri sendiri, mengelana, mencari dan menanggung penderitaan ,tidak ada pembela dan tempat berteduh, terlunta-lunta, terasing dari masyarakatnya,tidak mempunyai kelas, tidak mempunyai ras dan tidak berdaya. Ia seorang yang kesepian, seorang korban seorang asing yang terbuang dan dibenci”.(AliSyari’ati, Haji,hlm.47)

Melalui Hajar, Allah tengah memperlihatkan pembelaan dan perhatian-Nya kepada nya justru manakala masyarakat manusia mencampakkannya hanya karena jenis kelaminnya yang perempuan. Allah juga membelanya karena dia dilekati identitas-identias sosial yang juga sering dipandang rendah, kelas tak berharga oleh masyarakatnya. Tetapi Allah justru menghargainya. Melalui Siti Hajar, Allah sedang menunjukkan bahwa manusia adalah sama di hadapan-Nya, dan harus dihormati, apapun jenis kelamin dan apapun identitas sosialnya. Allah menyatakan: “Dan Sungguh, Kami (Allah), memuliakan Anak-anak Adam”.Yang menarik lagi adalah bahwa Siti Hajar, isteri nabi Ibrahim, bapak para Nabi itu, sungguh, tidak berjuang hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seorang anak manusia yang tidak berdaya, seorang bayi,yang kelak menjadi Nabi dan utusan Tuhan dan demi keluarganya.

Maha Suci dan Maha Agung Allah, sangat menakjubkan,karena sampai hari ini air zam-zam terus mengalir deras, tanpa pernah kering sampai hari ini. Ia adalah air yang bersih dan jernih. Bermiliar orang dari seluruh dunia telah meminumnya. Zam-zam melambangkan sumber kehidupan yang bersih, sehat dan halal. Ini sesungguhnya mengarahkan manusia agar mencari sumber kehidupan yang bersih dan halal. “Tuhan adalah Maha Bersih dan hanya merestui makanan yang bersih (halal)”, kata Nabi.

 

Qurban saat Haji

 

Simbol Haji yang Selanjutnya adalah Qurban. Secara harfiah ia berarti dekat atau mendekatandiri. Dalam Haji ia berarti mendekatkan diri kepada Allah, melalui penyembelihan ternak. Memenuhi seruan Tuhan dengan cara menyembelih hewan padaperistiwa ini adalah salah satu bentuk ketaqwaan kepada-Nya. Al Qur-an menyebutkan : ” dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itusebagai bagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak dari halitu. Dan daging-daging unta dan darahnya sama sekali tidak akan dapat mencapaiTuhan. Tetapi ketaqwaan kamulah yang dapat mencapainya”.(QS.Al Hajj, 22 : 36-37).

  Qurban adalah simbol perjuangan manusia mewujudkan solidaritas sosial-ekonomi demi kesejahteraan bersama. Allah menyatakan : “Kemudian bila (hewan itu) telah roboh, maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan keberadaannya (kemiskinannya) dan orang yang minta-minta”. Seorang penafsir modern Rasyid Ridha menyatakan bahwa ibadah qurban melambangkan perjuangan kebenaran yang menuntut tingkat kesabaran, ketabahandan pengorbanan yang tinggi”.  Pandangan ini mengajak kita untuk menaruh perhatian yang tinggi kepada dimensi moral dan perjuangan kemanusiaan ini.

Dan semua harus terus diperjuangkan bagi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial. Kepemihakan Islam terhadap komunitas manusia yang miskin atau dimiskinkan oleh struktur sosialnya merupakan komitmen utama Islam. Menyembelih hewan adalah menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang menyesatkan dan yang seringkali tidak peka dan tak peduli terhadap penderitaan orang lain.

WAKAF MENURUT IMAM MAZHAB

A.      Pengertian Wakaf Menurut Imam Mazhab dan Para Ulama

1.      Abu Hanifah

Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan  harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia di benarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah :”tidak melekukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (social), baik sekarang maupun akan datang”.

2.      Mazhab Maliki

Mazhab Maliki bependapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang di milikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

3.      Mazhab Syafi’I dan Ahmad bin Hambal

Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak  dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut . Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf’alaih. Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosia)”.

4.       Mazhab Lain 

Mazhab Lain sama dengan mazhab ketiga , namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf’alaih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf’alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.[1]

B.   Interpretasi Ulama Fiqih terhadap Dalil-dalil Persyari’atan Wakaf

Interpretasi ulama fiqih terhadap dalil-dalil pensyari’atan wakaf yang masih berbentuk umum tersebut sangat penting diungkapkan dalam rangka melihat penalaran mereka dalam membangun wakaf menjadi sebuah institusi tersendiri dengan spesifikasinya. Dalam hal ini dijelaskan hasil ijtihad Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’I, Ahmad Bin Hambal, Daud Dhahiri, Muhammad dan Abu Yusuf, karena hasil usaha pemikiran mereka dapat dijadikan sebagai alternative acuan dalam perwakafan.

Wakaf menurut para imam mazhab merupakan suatu perbuatan sunnat untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan sector keagamaan baik pembangunan di bidang material maupun spiritual. Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat islam yang sangat potensial bila dikembangkan. Sebagai contoh, Mesir yang telah berhasil memprogramkan wakaf sejak seribu tahun yang lalu.

Persoalan wakaf bagi ulama mazhab disepakati sebagai amal jariah. Namun yang menjadi perbedaan mereka dan pengikutnya adalah permasalahan pemahaman terhadap wakaf itu sendiri, apakah harta wakaf yang telah diberikan si wakif masih menjadi miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada maukuf alaih (penerima wakaf)?.

Adapun interpretasi para ulama mengenai dalil-dalil persyari’atan wakaf adalah sebagi berikut:

1.      Menurut Abu Hanifah

Menurut pendapat Abu Hanifah, harta yang telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan wakif dan boleh ditarik kembali oleh si wakif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya manfaatnya saja yang diperuntukan untuk tujuan wakaf. Dalam hal ini, Imam Abu Hanifah memberikan pengecualian pada tiga hal, yakni wakaf masjid, wakaf yang ditentukan oleh keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang tesebut, yang di lepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh.

a.       Terhadap wakaf masjid, yaitu apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk kepentingan masjid, atau seseorang membuat pembangunan dan diwakafkan untuk masjid, maka status wakaf didalam masalah ini berbeda. Karena seseorang berwakaf untuk masjid, sedangkan masjid itu milik Allah, maka secara spontan masjid itu berpindah menjadi milik Allah dan tinggallah kekuasaan si wakif dalam hal ini.

b.      Wakaf yang di tentukan oleh keputusan pengadilan, yaitu apabila terjadi suatu sengketa tentang harta wakaf yang tak dapat diktarik lagi oleh orang yang mewakafkannya atau ahli warisnya. Kalau pengadilan memutuskan bahwa harta itu menjadi harta wakaf. Terangkatlah khilafiyah setelah adanya putusan hakim.

c.       Sedangkan wakaf wasiat yaitu bila seseorang dalam keadaan masih hidup membuat wasiat, jika ia meninggal dunia maka harta yang telah ditentukannya menjadi wakaf. Maka dalam contoh seperti ini kedudukannya sama dengan wasiat.

Abu Hanifah berpendirian seperti itu dengan menggunakan dalil sebuah hadits Rasulullah yang di riwayatkan oleh Dar al-Quthni dari Ibnu Abbas, “La Habasa ‘an Faraidillah” (tidak ada penahanan harta/habsa dalam hal-hal yang sudah ada ketentuannya).

Alasan kedua bagi Abu Hanifah sebagaimana yang pernah diriwayatkan dari Hakim Suraih yang menyebutkan bahwa Nabi SAW pernah datang dengan menjual harta yang telah di wakafkan. Kalau Nabi SAW saja pernah berbuat dan menjual harta wakaf, kenapa kita tidak, kata Abu Hanifah. Kalau begitu, menahan asal harta (‘ain benda yang diwakafkan) bukan hal yang di syariatkan.

Sesungguhnya yang dilarang untuk itu adalah terhadap berhala dan patung. Terhadap dua inilah yang dilarang, kata Abu Hanifah sambil menjelaskan bahwa Rasul pernah membatalkan wakaf untuk keperluan patung dan berhala. Abu Hanifah menjelaskan, dengan diwakafkannya suatu harta bukan berarti menjadi suatu keharusan untuk lepasnya pemilikan wakif. Oleh sebab itu, bolehlah rujuk dan mengambil kembali wakaf itu, boleh pula menjualnya, karena menurut Abu Hanifah, wakaf sama halnya dengan barang pinjaman dan sebagaimana dalam soal pinjam-meminjam, si pemilik tetap memilikinya, boleh menjual dan memintanya kembali (seperti ‘ariyah). Argumentasi lain yang dijadikan Abu Hanifah sebagai alasan bahwa harta wakaf yang telah diwakafkan tetap menjadi milik wakif dengan menganalogikan dan menyamakannya dengan sa’ibah seperti yang terdapat dalam surah Al-maidah ayat 103, dan ini sangat dilarang oleh Allah SWT.

Ada suatu perbedaan dalam pandangan Imam Abub Hanifah dengan kedua muridnya tentang wakaf. Secara harfiah, wakaf berarti penahanan. Wakaf terdiri atas pemberian atau pemberian harta kekayaan untuk selama-lamanya sehingga tidak adaa hak-hak pemilikan terhadap benda wakaf itu, tetapi hanya ada hak guna saja. Ini merupakan suatu bentuk pemindahan yang mengalihkan harta kekayaan dan pemilikan orang yang menyerahkan tanpa ia alihkan menjadi milik manusia. Menurut Imam Abu Hanifah yang menentang kesahihan transaksi-transaksi seperti itu, wakaf menurutnya, “penahanan suatu benda tertentu didalam pemilikan pemberi wakaf dan penyerahan atau pendermaan keuntungan-keuntungan sebagai derma kepada orang-orang miskin atau tujuan-tujuan lain yang baik, dengan cara pinjaman barang”.

2.      Menurut Mazhab Maliki

Adapun menurut Mazhab Maliki, sebagaimana defenisi wakaf yang di sebutkan sebelumnya, harta yang di wakafkan itu menurut Malikiyah tetap menjadi milik si Wakif. Dalam hal ini sama dengan Abu Hanifah. Akan tetapi, Maliki menyatakan tidak boleh mentransaksikannya atau men-tasarruf-kannya, baik dengan menjualnya, mewariskannya atau menghibahkannya selama harta itu diwakafkan. Menurutnya, boleh wakaf untuk waktu tertentu, bukan sebagai syarat bagi Maliki selama-lamanya. Apabila habis jangka waktu yang telah di tentukan, maka boleh mengambilnya lagi, walaupun benda itu untuk masjid.

Wakaf menurut interpretasi Malikiyah, tidak terputus hak si wakif terhadap benda yang di wakafkan. Yang terputus itu hanyalah dalam hal bertasarruf. Malikiyah beralasan dengan hadits Ibnu Umar. Ketika Rasulullah menyatakan, “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedekahkanlah hasilnya”. Dari kalimat ini menurut Maliki adalah isyarat dari Rasul kepada umat untuk mensedekahkan hasilnya saja.

3.      Menurut Imam Al-Syafi’i

Sementara menurut Imam Al-Syafi’I harta yang diwakafkan terlepas dari si wakif menjadi milik Allah dan berarti menhan harta untuk selama-lamanya. Karena itu tidak boleh wakaf yang ditentukan jangka waktunya seperti yang di bolehkan Maliki. Maka di syaratkan pula benda yang di wakafkan itu tahan lama, tidak cepat habis sepeti makanan. Alasannya ialah hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar tentang tanah di Khaibar. Imam Al-Syafi’I memahami tindakan Umar mensedekahkan hartanya dengan tidak menjual, mewariskannya dan menghibahkannya, juga sebagai hadits karena Nabi melihat tindakan Umar itu dan Rasulullah ketika itu hanya diam. Maka diamnya Rasul dapat ditetapkan sebagai hadits takriry, walaupun telah didahului oleh hadits Qauly.

Selanjutnya, Ahmad Bin Hanbal mengatakan bahwa wakaf terjadi karena dua hal, yaitu:

a.       Karena kebiasaan, bahwa dia itu dapat dikatakan mewakafkan hartanya. Seperti seseorang mendirikan masjid, kemudian mengizinkan orang shalat didalamnya. Secara spontanitas bahwa ia telah mewakafkan hartanya itu menurut kebiasaan (urf’).

b.      Dengan lisan, baik dengan jelas atau tidak. Agtau ia memakai kata-kata habastu, wakaftu, sabaltu, dan tasadaqtu. Bila menggunakan kalimat seperti ini, maka ia harus mengiringinya dengan niat wakaf

 

C.       Pengalihfungsian  Harta Wakaf Menurut Para Ulama

Menukar dan mengganti benda wakaf dalam penalaran ulama terdapat perbedaan antara benda wakaf yang berbentuk masjid dan bukan masjid. Yang bukan masjid di bedakan lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak.

Terhadap benda wakaf yang berbentuk masjid, selain Ibn Taimiyah dan sebagian Hanabalah sepakat melarang menjualnya. Sementara terhadap benda wakaf yang bukan masjid, selain Mazhab Syafi’iyah membolehkan menukarnya, apabila tindakan demikian memang benar-benar sangat diperlukan. Namun mereka berbeda dalam menentukan persyaratannya.

Ulama Hanafiyah mebolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga hal, yakni:

1.      Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar ketika ikrar.

2.      Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi di pertahankan

3.      Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan bermanfaat

Ulama Malikiyah juga menentukan tiga syarat, yaitu:

1.      Wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau di jual.

2.      Benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan tujuan semula saat diwakafkan.

3.      Apabila benda wakaf pengganti di butuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya, dan sebagainya.

Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbentuk masjid atau bukan masjid. Ibn Taimiyah misalnya, mengatakan bahwa benda wakaf itu boleh ditukar atau di jual, apabila tindakan ini benar-benar di butuhkan. Misalnya suatu masjid yang tidak dapat lagi di gunakan karena telah rusak atau terlalu sempit, dan tidak mungkin diperluas, atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat, sementara di tempat yang baru mereka tidak mampu membangun masjid yang baru.

Dasar pemikiran Ibn Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama, tindakan menjual atau menukar benda wakaf tersebut sangat di perlukan. Lebih lanjut Ibn Taimiyah mengajukan contoh, seseorang mewakafkan kuda untuk tentara yang sedang berjihad fi sabilillah, setelah perang usai, kuda tersebut tidak di perlukan lagi. Dalam kondisi seperti ini, kuda tersebut boleh dijual, dan hasilnya di belikan sesuatu benda lain yang lebih b eermanfaat untuk diwakafkan. Ke dua, karena kepentingan maslahat yang lebih besar, seperti masjid dan tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat, dijual untuk membangun masjid baru yang lebih luas atau lebih baik. Dalam hal ini mengacu pada tindakan Umar Ibnu Al-Khattab ketika ia memindahkan masjid Kufah dari tempat yang lama ketempat yang baru. Usman kemudian melakukan tindakan yang sma terhadap masjid Nabawi.

Lebih lanjut Ibn Taimiyah mengajukan argumentasi, bahwa tindakan tersebut ditempuh ialah untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau setidaknya penyia-nyiaan benda wakaf itu. Hal ini sejalan dengan kaidah “menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”.

Selain itu, untuk mempertahankan tujuan hakiki disyariatkannya wakaf, yaitu untuk kepentingan orang banyak dan kesinambungan. Namun persoalannya adalah bagaimana seandainya wakif tidak member isyarat secara detail terhadap bolehnya benda wakaf tersebut ditukar atau dijual manakala kondisinya sangat mendesak. Apabila tidak sedikit seorang wakif mewakafkan hartanya karena pertimbangan tabarru’ telah merasa cukup dengan ikrar saja, tanpa dilengkapi dengan persyaratan administrative lainnya.

Golongan Hanabilah membolehkan menjual masjid apalagi benda wakaf lain selain masjid, dan di tukar dengan benda lain sebagai wakaf, apabila ditemui sebab-sebab yang membolehkan. Umpamanya tikar yang di wakafkan di masjid, apabila telah using atau tidak dapat di manfaatkan lagi, boleh dijual dan hasil penjualannya di belikan lagi untuk kepentingan bersama.

Sementara itu, golongan Syafi’iyah menyatakan bahwa terlarang menjual dan menukarkan wakaf secara mutlak. Sehingga walaupun wakaf itu termasuk wakaf khas seperti wakaf untuk keluarga, dan walaupun di bolehkan oleh bermacam-macam sebab. Mereka membolehkan bagi si penerima untuk menghabiskannya guna untuk keperluan sendiri jika ditemui hal yang membolehkan seperti pohon yang mulai mongering dan tidak ada lagi kemungkinan untuk berbuah. Maka orang yang menerima wakaf boleh memanfaatkan guna kayu api, tapi tidak boleh menjual dan menukarkannya. Ulama Syafi’iyah berdalil dengan hadits yang di riwayatkan Ibnu Umar, “harta wakaf tidak boleh dijual, di hibahkan dan di wariskan”.

Adapun Ulama Maliki berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh di jual dalam tiga keadaan, yakni:

1.      Orang yang mewakafkan mensyaratkan tidak boleh menjual sewaktu ada perjanjian wakaf tersebut, lalu ia mengikuti syarat itu.

2.      Benda yang di wakafkan itu termasuk jenis benda yang bergerak dan tidak pantas bagi pihak si penerima wakaf lalu benda wakaf itu dijual dan harganya di belikan pada hal yang seumpama dan sebanding dengannya.

3.      Tumbuh-tumbuhan yang dijual itu untuk kepentingan perluasan masjid atau jalan pekuburan dan pada hal-hal lainnya yang tidak boleh dijual.

Kelompok Hanafi membolehkan menjual dan menukar sekalian benda-benda wakaf khas dan ‘am kecuali masjid. Mereka membolehkan tersebut dengan tiga keadaan, yaitu:

a.       Orang yang berwakaf mensyaratkan hal itu ketika berwakaf

b.      Harta wakaf itu tidak dapat dimanfaatkan lagi

c.       Pertukaran itu mendatangkan manfaat yang lebih baik dan harga yang lebih mahal

Al-mahili mengatakan bahwa, menurut pendapat yang lebih shahih di bolehkan menjual tikar masjid yang telah diwakafkan apabila tiang-tiang masjid itu telah lapuk dan masjid itu telah rusak dan tidak mungkin lagi diperbaiki kecuali dengan membukanya, supaya kehancuran tidak mengiringinya.

Ibnu Qudamah, salah seorang ulama dari Mazhab Hanbali, dalam kitabnya Al-mughni berpendapat bahwa apabila harta wakaf menuju kebinasaan sehingga tidak dapat di manfaatkan, maka harta wakaf itu dapat di jual, kemudian harga penjualan tersebut dibelikan kepada benda yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan wakaf yang pertama.

Sementara itu, Al-Sayyid Sabiq memberi jawaban atas pendapat Ibnu Taimiyah: “adapun mengganti apa yang di nazarkan dan diwakafkan dengan yang lebih baik darinya, seperti dalam penggantian hadiah, maka yang demikian ini ada dua macam, yakni:

1.      Penggantian karena kebutuhan. Misalnya  karena macet, maka ia dapat dijual dan harganya dapat dibelikan kepada benda yang serupa untuk menggantinya, seperti kuda yang diwakafkan untuk perang, maka ia dapat dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya, masjid bila tidak dapat difungsikan lagi sesuai dengan tujuan wakaf semula, maka dapat dig anti atau di tukar serta dijual. Semua ini dibolehkan karena apabila yang asal tidak bisa mencapai maksud, maka diganti dengan yang lainnya.

2.      Penggantian karena kepentingan yang lebih kuat. Misalnya menggantikan hadiah dengan yang lebih baik dan berguna seperti masjid bila dibangun yang lain sebagai gantinya yang lebih baik bagi penduduk setempat. Mesjid pertama boleh dijual. Hal seperti ini diperbolehkan Ahmad Bin Hambal dan ulama-ulama lainnya. Ahmad beralasan dengan tindakan Umar Bin Khaththab yang memindahkan mesjid Kufa yang lama ketempat yang baru, dan tempat yang lama diadikan pasar untuk penjual buah-buah tamar. Sedangkan dalam masalah penggantian bngunan dengan bangunan lain, Khalifah Umar dan Ustman pernah membangun  tanpa mengikuti konstruksi pertama dan bahkan memberikan tambahan, demikian juga Masjidil Haram.

Berdasarkan uraian itu, berarti pada prinsipnya harta wakaf tidak bisa dilakukan transaksi hukum lain, seperti dihibahkan, dijual, atau diwariskan, namun apabila tidak bermanfaat lagi sesuai dengan ikrar wakaf semula, atau adanya kepentingan umum yang lebih besar, maka pengalihfungsian benda wakaf merupakan bentuk solusi dengan pertimbangan mashlahah.[2]

ORGANISASI DALAM AL-QUR’AN

Oleh : Syukri Ilyas, S.Ag. MA

( Penyuluh Agama Islam Fungsional Kemenag Batam )

 

Terdapat dua kata bantu yang terdapat dalam al-Qur’an untuk mempelajari pengorganisasian ini. Kata tersebut adalah ( Shaff ) dan ( ummat ). Penulis akan membahas dua kata tersebut satu per satu.

Penulis mengidentikkan kata  ( shaff ) ini dengan organisasi. Jadi organisasi menurut analisis kata ini adalah suatu perkumpulan atau jamaah yang mempunyai sistem yang teratur dan tertib untuk mencapai tujuan bersama. Dalam surah al-Shaff ayat 4 dikemukakan:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan   yang tersusun kokoh.

Maksud dari shaff disitu menurut al-Qurtubi adalah menyuruh masuk dalam sebuah barisan (organisasi) supaya terdapat keteraturan untuk mencapai tujuan.

Dalam sebuah hadits diterangkan:

 

Artinya:Sesungguhnya Allah mencintai orang yang jika melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan “tepat, terarah dan tuntas“.

Suatu pekerjaan apabila dilakukan dengan teratur dan terarah, maka hasilnya juga akan baik. Maka dalam suatu organisasi yang baik, proses juga dilakukan secara terarah dan teratur atau.

Menurut al-Baghawi maksud dari ayat di atas adalah manusia seyogyanya tetap pada tempatnya dan tidak bergoyah dari tempat tersebut. Di samping itu, dalam ayat tersebut banyak mufassir yang menerangkan bahwa ayat tersebut adalah barisan dalam perang. Maka ayat tersebut mengindikasikan adanya tujuan dari barisan perang yaitu berupaya untuk melaksanakan kewajiban yaitu jihad di jalan allah dan memperoleh kemenangan. Dalam penafsiran versi lain, dikemukakan bahwa ayat tersebut menunjukkan barisan dalam shalat yang memiliki keteraturan.

 Dari sini dapat dikemukakan bahwa ciri organisasi adalah mempunyai pemimpin dan terjadi itba’ terhadap kepemimpinan tersebut. Di samping itu, kata ( bunyanun marshuusun ) mengindikasikan bahwa dalam sebuah organisasi hendaknya terdapat pembagian wewenang dan tugas, sebagaimana yang terjadi dalam sebuah bangunan atau rumah, ada yang bertugas menjadi tangga, ada yang bertugas menjadi tiang, serta ada yang bertugas menjadi atap dan sebagainya. Dalam sebuah hadits diterangkan:

“Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kita untuk berbuat yang optimal dalam segala sesuatu….”

Dalam menerima delegasi wewenang dan tanggung jawab hendaknya dilakukan dengan optimal dan sungguh-sungguh. Janganlah anggota suatu organisasi melakukan tugas dan wewenangnya dengan asal-asalan. Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa apabila seseorang hanya mementingkan kepentingan sepihak dan melakukan tugas serta tanggung jawabnya dengan asal-asalan. Hadits yang menerangkan tentang kekalahan umat Islam dalam perang Uhud menunjukkan bahwa apabila seseorang tidak melaksanakan anggotanya sebagai bagian dari organisasi perang, maka akibatnya adalah organisasi tersebut mengalami kekalahan. Jadi dalam sebuah organisasi harus terjadi koordinasi yang baik dan tidak boleh terjadi penyalahgunaan wewenang.

Dalam ayat lain diterangkan:

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ

Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Anfal: 46)

 

Ayat tersebut menerangkan bahwa dalam sebuah organisasi tidak boleh terdapat percekcokan yang membawa kepada permusuhan yang pada akhirnya mengakibatkan hancurnya kesatuan. Dalam tafsirnya al-Maraghi menerangkan pertentangan yang menyebabkan rusaknya koordinasi dan organisasi akan membawa kepada kelemahan dan kegagalan.

Berorganisasi sangat penting dan merupakan hal yang pokok untuk menjalankan sebuah manajemen. Al-Qur’an menjelaskan:

أقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

”….Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…”(Q.S.Al-Syuura: 13)

Ayat di atas menjelaskan bahwa anggota organisasi dilarang keluar dari organisasi dan dilarang memecah belah organisasi.Perkataan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib:

اَلْحَقُّ بِلاَ نِظَامٍ يَغْلِبُهُ اْلبَاطِلُ بِالنِّظَامِ

“Kebenaran yang tidak diorganisir dapat dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisir.”

Perkataan ini mengingatkan kita tentang pentingnya berorganisasi dan sebaliknya bahayanya suatu kebenaran yang tidak diorganisir melalui langkah-langkah yang kongkrit dan strategi-strategi yang mantap. Maka tidak ada garansi bagi perkumpulan apa pun yang menggunakan identitas Islam meski memenangkan pertandingan, persaingan maupun perlawanan jika tidak dilakukan pengorganisasian yang kuat.

Di sini terdapat perbedaan yang mencolok antara organisasi umum dengan organisasi pendidikan Islam yang elemen-elemennya diambil dari al-Qur’an dan al-Hadits. Kata ( sabilihi ) dalam ayat surat al-Shaff di atas menunjukkan perbedaan bahwa orang yang menjadi anggota organisasi pendidikan Islam ada niat untuk berjuang karena Allah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

Berpijak dari keterangan dua mufassir di atas, maka dapat ditarik dalam teori manajemen bahwa organisasi mempunyai anggota yang terdiri dari kumpulan orang-orang, berada dalam suatu wadah, terdapat keteraturan, mempunyai tujuan, juga mempunyai pemimpin, terjadi pendelegasian wewenang dan tanggung jawab serta ada niat melaksanakan tugas dengan ikhlas dan berjuang di jalan Allah.

Hal tersebut nampaknya mempunyai kesamaan dan perbedaan dengan ciri serta elemen bahkan manfaat dan tujuan organisasi yang  dikemukakan para ahli.

Winardi mengutip Reece yang mengemukakan bahwa elemen organisasi antara lain: manusia, tujuan tertentu, pembagian tugas, sebuah sistem untuk mengoordinasi tugas, sebuah batas yang dipatok. Sedangkan menurut Schein, sebagaimana dikutip Winardi, organisasi mempunyai empat macam ciri atau karakteristik sebagai berikut: koordinasi upaya, tujuan umum bersama, pembagian kerja, hierarki otoritas.

Kata kunci untuk memahami organisasi selanjutnya adalah kata ( ummat). Ummat diartikan sebagai sekelompok orang yang berada di suatu wilayah tertentu. Dalam term tertentu ummat juga diartikan sebagai golongan atau organisasi. Kata ummat disebut dalam al-Qur’an berkali-kali. Terdapat beberapa sifat yang melekat dalam kata ummat, antara lain:

1.       ummat muqtashidah

2.       ummat jasiyah

3.       khaira ummah

4.       ummat wahidah

5.      ummat wasathan

6.      ummat qanitan

7.      ummat muslimah.

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ

Artinya : Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.(Q.S.al-Maidah: 66)

Term ummat muqtashidah memberi pemahaman sebagaimana yang diterangkan al-Thabari sebagai berikut:

Hendaklah suatu organisasi itu berjalan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Penyimpangan dari perencanaan tersebut akan menyebabkan organisasi menjadi berbelok dan sulit untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. AD/ART suatu organisasi harus dijalankan secara konsekuen agar suatu organisasi mampu dinamakan organisasi yang efektif. Maka AD/ART juga merupakan elemen organisasi.

وَتَرَى كُلَّ أُمَّةٍ جَاثِيَةً كُلُّ أُمَّةٍ تُدْعَى إِلَى كِتَابِهَا الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya : Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.(Q.S.al-Jatsiyah: 28)

Term jatsiyah mengandung arti berlutut dengan lutut untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilakukan. Maka dari itu, organisasi harus mampu mempertanggungjawabkan apapun yang telah diperbuatnya, walaupun salah satu anggota yang melakukan perbuatan tersebut, sehingga harus ada kesatuan arah dan kesatuan komando juga komitmen dari para anggota.

 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S.ali Imran: 110)

Khaira ummah di sini merupakan tafsir dari umat Islam akan menjadi umat yang terbaik apabila mengerjakan pilar-pilar agama Islam. Namun apabila ditarik dalam masalah organisasi yaitu mengandung pemahaman organisasi yang bermutu yang melaksanakan pilar-pilar mutu. 

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Artinya : Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.(Q.S.al-Baqarah: 213)

 

Ayat tersebut menerangkan bahwa sebuah organisasi hendaknya bersatu dengan menghindari konflik yang menyebabkan perpecahan antara satu dengan yang lain. Maka dari itu, dalam sebuah organisasi hendaknya selalu menjunjung persatuan dan kesatuan organisasi.

Ayat tersebut juga menerangkan tentang pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi dan juga berorientasi pada penyelesaian masalah. Hendaknya semua perkara yang diselisihkan dalam sebuah organisasi itu diselesaikan dengan dikembalikan kepada metode pengambilan keputusan yang diajarkan oleh Allah, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits, yaitu metode musyawarah. Jadi musyawarah merupakan cara yang tepat untuk mengatasi konflik yang mampu menyebabkan perpecahan dalam tubuh organisasi, dengan mengambil keputusan yang bijak.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu(Q.S.al-Baqarah: 143)

Term wasathan menurut pendapat ahli tafsir adalah pilihan. Jadi apabila kita tarik dalam hal manajemen, hendaklah sebuah organisasi itu dibuat menjadi organisasi yang pilihan yang unggul serta yang efektif. Dalam ayat tersebut juga dikemukakan bahwa tujuan digunakan sebagai arah gerak organisasi dan untuk mengetahui kinerja kesetiaan anggota organisasi.

 

 

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Artinya : Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan.(Q,S.al-Nahl: 120)

Kata ummat qanitan menurut Ibn Mas’ud, sebagaimana yang dikutip oleh al-Thabari, umat yang mengajari kebaikan kepada manusia. Qanit dalam arti yang lain diidentikkan dengan muthi’ Maka, dalam sebuah organisasi harus ada ketaatan dari para anggota organisasi kepada seorang pemimpin organisasi. Di samping itu, seorang pemimpin organisasi harus mampu menjadi seorang teladan bagi para anggotanya.Organisasi yang sukses harus mampu mengaplikasikan nikmat yang diberikan kepadanya dengan mensyukurinya, sedangkan implementasi dari syukur tersebut adalah menggunakan nikmat dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut terwujud dengan menjalankan tugas sebaik-baiknya.

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Artinya : Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(Q.S.al-Qur’an:128)

Ayat tersebut walaupun konteksnya adalah doa yang menunjukkan ketaatan kepada sang khaliq, memberi isyarat bahwa dalam organisasi anggota harus taat kepada pemimpin, dan senantiasa meminta petunjuk kepada pemimpin tentang apa yang akan dilakukannya serta meminta maaf kepada pemimpin apabila ia melakukan kesalahan. Dalam ayat lain disebutkan bahwa taat kepada pemimpin juga merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.

 

 

Kesimpulan

 

         Terdapat dua kata bantu yang terdapat dalam al-Qur’an untuk mempelajari pengorganisasian ini. Kata tersebut adalah Shaff dan ummat. Untuk kata shaff  menginspirasi konsep bahwa organisasi harus mempunyai anggota yang terdiri dari kumpulan orang-orang, berada dalam suatu wadah, terdapat keteraturan, mempunyai tujuan, juga mempunyai pemimpin, terjadi pendelegasian wewenang dan tanggung jawab serta ada niat melaksanakan tugas dengan ikhlas dan berjuang di jalan Allah. Kata ummat menginspirasi konsep bahwa organisasi ideal harus mempunyai elemen Ketaatan anggota, keteladanan pemimpin, tujuan organisasi, kesatuan komando dan AD/ART. Dalam pengambilan keputusan memakai sistem musyawarah. Sedangkan untuk menuju organisasi yang bermutu, organisasi harus menjalankan pilar-pilar mutu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

DAFTAR RUJUKAN

 

al-Baghawi, Abu Muhammad Hasan ibn Mas’ud,  Mu’alim al Tanzil, Dar Tayyibah lin Nasr: Dalam Software Maktabah Samilah, 2005.

al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il, Shahih Bukhari juz 12, Mauqi’u al-Islam: dalam Software Maktabah Samilah, 2005.

al-Hajaj, Muslim, Shahih Muslim, juz 10, Mauqi’u al-Islam Dalam Software Maktabah Syamilah, 2005.

al-Hawary, Sayyid Mahmud, Idarah  al-Asas wa al-Ushul al-Ilmiyah, Dar al-Kutub: Mesir, 1976.

al-Maraghi, Mustofa, Tafsir al-Maraghi, Kairo: Mustofa Babil Halabi, 1966.

al-Qurtubi, Samsyu al-Din, Jami’ al-Bayan li al-Ahkam al-Qur’an, juz 1, Mauqi’u al-Tafasir: Dalam Software Maktabah Samilah, 2005.

al-Thabari, Ibn Jarir, Tafsir Jami’ al Bayan fi ta’wil al-Qur’an, Mauqiu Majma’ al Mulk: dalam Software Maktabah Samilah, 2005.

al-Thabrani, Mu’jam al-Kabir, juz 6, Mauqi’u al-Islam Dalam Software Maktabah Syamilah, 2005.

Amrullah, Haris Budiyono, Pengantar Manajemen, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004.

Tanthowi, Jawahir, Unsur-Unsur Manajemen Menurut Ajaran Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983.

Usman, Husaini, Manajemen Pendidikan: Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Winardi, Teori dan Pengorganisasian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.